GPEI Jatim, Surabaya – Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur masih cukup optimistis kinerja ekspor Jatim tahun ini masih akan tumbuh positif meskipun diperhadapkan dengan isu geopolitik seperti perang antar negara, termasuk Krisis Laut Merah.
Ketua GPEI Jatim, Isdarmawan Asrikan mengatakan sektor usaha berorientasi ekspor saat ini masih memang masih menghadapi banyak tantangan baik internal maupun eksternal seperti isu geopolitik yakni perang Rusia – Ukraina, Israel – Palestina hingga Krisis Laut Merah yang membuat biaya transhipment barang ekspor menjadi lebih mahal.
“Krisis Laut Merah berdampak pada terganggunya pelayaran yang terpaksa harus berputar ke laut Afrika sehingga cost menjadi mahal. Namun demikian kita berupaya untuk meningkatkan ekspor kita, terutama dari pelaku usaha kecil menengah untuk mencari pasar non tradisional,” jelasnya usai Gathering GPEI Jatim di Surabaya, Selasa (28/5/2024).
Meskipun kinerja ekspor pada 2023 tampak minus, tetapi Isdarmawan memilih tetap optimistis untuk tahun ini bisa tumbuh lebih Baik. Apalagi kinerja ekspor Jatim di 3 bulan pertama tahun ini juga tampak lebih baik pertumbuhannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Startistik (BPS) Jatim, kinerja ekspor non migas Jatim selama kuartal I/2024 (Januari – Maret) mencapai US$6,07 miliar. Pangsa pasar ekspor non migas Jatim selama kuarta I itu disumbang oleh Amerika Serikat (AS) sebesar US$0,79 miliar, Jepang US$0,77 miliar, Tiongkok US$0,69 miliar, dan Swiss US$0,56 miliar. Sedangkan di pasar Asean menyumbang US$1,12 miliar (18,43%) dan Uni Eropa US$0,38 miliar (6,32%).
Selama 3 bulan pertama itu, terjadi tren kenaikan ekspor. Tercatat pada Januari ekspor Jatim baik migas dan non migas sebesar US$1,99 miliar, lalu Feberuari US$1,81 miliar dan pada Maret US$2,51 miliar atau naik 39,10% (mtm) atau naik 34,57% (yoy).
Komoditas utama penyumbang ekspor non migas Jatim pada Maret yakni perhiasan/permata berkontribusi 34,79% atau naik 227,09% dengan negara tujuan utama Swiss 41,63% dan Jepang 18,07%. Disusul tembaga menyumbang 7,54% atau tumbuh 6,61% dengan negara tujuan utama Malaysia 45,87% dan Tiongkok 19,28%. Serta lemak dan minyak hewani/nabati menyumbang 5,89% dan tumbuh 16,05% dengan negara tujuan utama Tiongkok 47,59% dan Malaysia 11,04%.
Isdarmawan menambahkan, GPEI akan terus berupaya meningkatkan kinerja ekspor, Salah satunya dengan melanjutkan program pembinaan dengan target 100 UMKM tembus ekspor. Setiap tahun rerata ada sekitar 10 – 15% UMKM yang berhasil menembus pasar ekspor misalnya untuk produk makanan olahan dan handycraft.
“Pasar ekspor masih menjanjikan karena negara-negara Asia yang ongkos kirimnya tidak terlalu mahal, lalu di sana juga banyak diaspora dan tenaga kerja kita di luar negeri yang terbiasa pakai produk-produk Indonesia,” imbuhnya.
Transaction Service Department Head, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), Tjahjono Soebroto mengatakan masih besarnya peluang pasar ekspor ini akan dioptimalkan oleh BSI untuk memberikan dukungan berupaya layanan perbankan maupun permodalan bagi pelaku usaha yang berorientasi ekspor.
“Sektor usaha ekspor ini cukup berkontribusi terhadap kinerja penyaluran modal kerja BSI dengan pertumbuhan yang pesat 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Potensi ini akan kaami kembangkan terus dengan target pertumbuhan 25% dari tahun lalu,” ujarnya. Ketua Indonesian National Shipowner Association (INSA) Surabaya,Stenven Lesawengen mengatakan, Krisis Laut Merah bagi pelayaran itu sebenarnya bisnis yang memanfaatkan peluang. Ketika ada krisis ini, transhipment time ke Eropa yang biasanya 1 minggu bisa bertambah menjadi 2 minggu. “Kalau kapal kapasitas 10.000 TEUs saja konsumsi bahan bakarnya 30 – 40 ton/hari, kalau ditambah 2 minggu berarti ada penambahan cost 40 ton x 14 hari. Disitulah mereka memanfaatkan fright cost,” kata Stenven yang juga bagian dari Kadin Jatim(*).